Sunday, July 13, 2014
15:02
Part of my Essay.
Kira-kira setahun yang lalu, mahasiswa IP FE UII sempat diberi tugas untuk membuat essay dari hasil seminar LKIL. Sore ini secara tidak sengaja bertemu lagi dengan file essay tersebut. Well, here my so-so essay at that time.
****
Akhir
pekan lalu, saya dan teman-teman satu angkatan 2010 di IPFE mengikuti rangkaian
akhir program pengembangan karakter yaitu Latihan Kepemimpinan Islam tingkat
Lanjut atau disingkat LKIL. Program LKIL ini adalah salah satu dari rangkaian
program Character Builiding yang
dilaksanakan oleh Internasional Program UII kepada mahasiswanya. Program ini
dilaksanakan sebagaimana mengacu pada visi dan misi IP UII untuk menciptakan
seorang Global Leader yang mampu menghadapi ragam bentuk perubahan
dan persaingan global baik dalam hard
skill maupun soft skill. Saya rasa program ini memiliki tujuan mulia agar
mahasiswa IP UII mendapatkan inspirasi dan motivasi dari narasumber sehingga
nantinya inspirasi dan motivasi tersebut dapat diserap dan diaplikasikan dalam
kehidupan mahasiswa baik saat masih dalam tahap perkuliahan atau masa setelah
memasuki dunia pekerjaan.
Menilik program-progam Latihan
Kepemimpinan Islam yang terdahulu, baik di tingkat dasar maupun menengah, saya
pikir konsep LKIL ini sendiri tidak jauh berbeda. Penyelenggara dari tim character building IP masih menghadirkan
narasumber dari alumni UII yang tidak hanya pernah memiliki pengalaman memimpin
yang baik semasa kuliah mereka, namun juga sekarang di masa tua mereka juga
sudah memetik hasil dari apa yang mereka usahakan selama masa mereka menjadi
aktivis di kampus. Jika saya mengingat pada waktu LKIM lalu, IP mengundang
Bapak Yodhia Antariksa sebagai pembicara. Beliau dulunya adalah Pemimpin
Redaksi Majalah Ekonomika milik Fakultas Ekonomi UII, dan sekarang sudah sukses
sebagai penulis dan enterpreneur. Bapak Yodhia menceritakan bagaimana
pengalaman beliau dan bagaimana beliau memotivasi dirinya agar ke depannya ia
bisa jauh lebih baik dari hari sekarang. Tidak jauh berbeda dengan
pembicara-pembicara di LKIL kali ini, Bapak Hamid Basyadi dan Bapak Suparman
Marzuki adalah sekian dari banyak orang yang sukses karena mampu dan mau
memotivasi serta menggerakkan dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik lagi
setiap harinya.
Pembicara pertama pada hari itu adalah
Bapak Hamid Basyaib yang sekarang menjabat sebagai staf ahli MPR RI. Semasa
perkuliahan beliau dikenal sebahai pemimpin redaksi di majalah HIMMAH UII dan
ketua LPM FH UII. Ketika awal dibacakan Curriculum
Vitae dari Bapak Hamid, saya merasa kagum pada beliau. Walaupun sekarang
pekerjaannya lebih banyak di dunia politik, namun beliau tidak meninggalkan
akar beliau sebagai seorang jurnalis. Beliau menulis dan menerjemahkan cukup
banyak buku, berkecimpung dalam beberapa bagian di stasiun tv swasta, serta
memiliki nama yang cukup disegani di dunia keilmuan. Dari awal melihat cara
beliau berjalan, menyapa kami semua, serta cara beliau berbicara di depan kami,
yang ada di pikiran saya adalah “ah.. beliau pasti sudah melalui banyak hal
dalam hidupnya. Beliau belajar sangat banyak.” Tutur katanya tegas namun
berwibawa. Keras namun mengandung arti di dalam setiap perkataannya. Saya rasa
tidak ada kata dalam ucapan beliau yang tidak mengandung wawasan di dalamnya.
Sejujurnya saya sangat mengagumi orang-orang cerdas dan berwawasan. Saya
tertarik dengan testimoni seseorang tentang beliau yang berkata; “He is a walking encyclopedia.” Dan saya
seketika tertegun, “Wow, is he that
smart?”
Satu jam materi terasa cukup
mengasyikkan. Pada awal materi beliau menyampaikan materi tentang pentingnya
menjadi seseorang yang mature, brave, and
solid. Saya melihat semua sifat itu ada pada beliau. Tapi saya rasa, hal
yang melengkapi sifat-sifat tersebut adalah pengalaman. Pengalaman beliau lah
yang mendewasakan dan memberi pelajaran hidup yang tidak akan pernah ditemukan
di buku manapun. Maka dari itu tidak heran jika sekarang beliau menjadi
seseorang yang tangguh dan solid. Saya suka gaya bicara beliau yang
ceplas-ceplos namun mengandung arti. Bapak Hamid berasal dari Lampung, saya pun
berasal dari Lampung. Ada kesamaan sifat diantara kami, tangguh dan berkata apa
adanya. Jika tidak menyukai sesuatu, maka kami tidak perlu berpura-pura
menyukai hal tersebut. Jika suka maka kami akan katakan yang sebenarnya. Tidak
mencoba menutup-nutupi diri sendiri dan mencoba menjadi orang lain atau sering
disebut pencitraan. Saya sangat jauh dari kata pencitraan. Saya terkenal cukup
ceplas-ceplos dalam berbcara dan cukup tegas saat memimpin sesuatu. Tapi yang membedakan
saya dengan Bapak Hamid adalah kecerdasan kami. Saya masih belum ada apa-apanya
dibandingkan beliau.
Saya melihat Bapak Hamid sebagai sosok
yang begitu “wah” di mata saya. Beliau begitu “tinggi”. Bahkan jika saya
diminta untuk menyamai beliau mungkin hal itu hanya berakhir sebagai
angan-angan saja. Jadi saya sampai pada kesimpulan bahwa beliau ini orang
hebat, tapi bukan main role model
buat saya. Saya jauh dari kata ilmuwan. Tapi walaupun saya tidak secerdas dan
sepintar beliau, hingga sampai saat ini saya selalu membawa nilai islam dalam
diri saya. Sebagaimana beliau juga memasukkan nilai-nilai islam dalam dirinya.
Semoga seterusnya saya selalu dapat menjaga nilai-nilai islam ini pada diri
saya, insha allah.
Pembicara selanjutnya adalah Bapak Suparman Marzuki yang sekarang menjabat
sebagai Ketua Komisi Yudisial RI. Awal diumumkan nama beliau sebagai pembicara
di LKIL kali ini saya lantas kaget; betapa hebatnya IP UII bisa mengundang
beliau untuk hadir di acara kami. Saya juga sempat berdiskusi dengan beberapa
teman yang penah mendapatkan seminar oleh beliau. Semua memberi referensi yang
positif tentang beliau. Dan ketika saya menerima langsung materi tentang
beliau, saya rasa semua orang yang memberikan testimoni positif tentang beliau
itu benar adanya.
Berbeda dengan Bapak Hamid Basyaib,
Bapak Suparman Marzuki lebih tenang serta pembawaannya lebih ke-bapak-an dan
lebih berwibawa. Beliau juga berasal dari Lampung. Gaya bicara beliau sangat
mirip dengan kakek saya, mungkin inilah salah satu ciri khas orang Lampung.
Tidak jauh berbeda dengan Bapak Hamid, Pak Parman juga memiliki kehidupan yang
sangat baik dan sangat efektif di masa perkuliahannya. Sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk belajar dan menjadi aktivis. Namun ada sisi beliau yang
membuat saya kagum. Di usia beliau yang sekarang, dimana hanya tinggal memetik
buah dari apa yang diupayakan beliau, beliau masih memiliki mimpi sederhana
yaitu berdiskusi ringan dengan mahasiswanya di rumah beliau. Sejenak saya
merasa, mungkinkah saya ketika berada di usia beliau masih memiliki mimpi?
Secara keseluruhan pelatihan
kepemimpinan islam kemarin sudah berjalan dengan baik. Walaupun beberapa
mahasiswa banyak yang mengantuk saat di kelas tapi saya bersyukur saya masih
mendapatkan “sesuatu” dari pelatihan ini. Saya memiliki kesempatan untuk bertemu
dengan orang-orang hebat yang berjuang untuk bangsa ini. Dan hebatnya adalah
dua narasumber ini memegang jabatan cukup penting di negeri ini. Sudah
semestinya saya merasa bersyukur untuk semua kesempatan ini.
Beberapa bulan ini saya lebih sering
membaca buku dan artikel tentang kepemimpinan. Bukan hanya satu pemimpin saja,
namun cukup banyak cerita dari banyak pemimpin. Dan akhir-akhir ini saya juga
dihadapkan dengan hal yang berbau tidak hanya memimpin tapi juga dipimpin.
Banyak harapan yang diberikan pada seorang pemimpin. Berharap akan menjadi
lebih baik, lebih termotivasi, lebih solid dan lebih lebih lainnya. Dan setelah
membaca, mendengar, melihat semua informasi yang saya dapat, saya berkesimpulan
bahwa seorang pemimpin haruslah cerdas. Ya, cerdas dalam berpikir, cerdas dalam
berakhlak, cerdas dalam berkata. Seorang pemimpin harus menggunakan akal dan
pikirannya jauh lebih banyak dari orang yang dipimpin. Dan hal ini terus
berkembang dalam pikiran saya bahwa pemimpin yang hebat adalah seseorang yang
mau terus belajar. Tidak ada hal yang lebih baik untuk menyempurnakan teori
selain pengalaman.
Saya
selalu menyukai orang-orang yang mau belajar. Orang-orang yang seperti itu
biasanya cerdas dalam menjalani hidup dan menggunakan logika dalam menyikapi
sebuah masalah. Menurut saya, seseorang yang berpikir, menggunakan akal lebih
banyak daripada menggunalan hati dan perasaan, adalah seseorang yang bisa saya
berikan respek lebih. Terlebih jika orang tersebut paham agama dan bertindak
layaknya khalifah di muka bumi. Saya merasa cendekiawan muslim macam itu tidak
perlu lagi diragukan integritas dan kredibilitasnya. Namun sayang sudah jarang
cendekiawan yang amanah tampil untuk membenahi bangsa ini. Kebanyakan orang
pintar menggunakan kecerdasan mereka hanya untuk kepentingan beberapa pihak.
Mereka pintar, namun tidak dewasa dan amanah. Maka dari itu saya sering
berpikir untuk tidak menjadi terlalu pintar jika pada akhirnya hanya menjadi
milik saya sendiri.
Disinilah saya sampai pada
kesimpulan bahwa sebenarnya setiap bisa jadi pemimpin asal orang tersebut mau
belajar, mau introspeksi diri, memotivasi dirinya untuk menjadi lebih baik.
Bukan hanya untuk dirinya namun juga untuk orang lain yang berada di
sekitarnya. Untuk orang-orang yang percaya padanya tetapi juga untuk
orang-orang yang menaruh harapan padanya. Saya percaya jika ada nantinya orang
yang mempercayai kita, bahkan menaruh harapan untuk kita, artinya kita sudah
belajar banyak di hidup ini. Ada tantangan baru untuk kita. Itulah permainan
dalam hidup, harus terus berjalan, ke level yang lebih sulit. Jadi, sudah
sampai dimana level kita hari ini?
“Don’t
push yourself to make such a huge innovation, just makes everything slightly
better.” – Hamid Basyaib, S.H. (2013)
Not really good at making essay,
Antykahfi.