Thursday, September 25, 2014

Satu Kata Nama

September 25, 2014
22:22
Tak bergeming, hanya tersenyum sekedarnya.


Hai. Lama sekali aku tak menulis. Rasanya jari-jariku mulai ogah bergerak di atas keyboard laptop sejak skripsiku selesai. Oh ya, aku sudah lulus sekarang. Begitu cepat ya waktu berlalu.

Hampir sebulan sudah aku resmi menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Hmm kalo inget lagi bagaimana perjuanganku buat wisuda tanggal 30 Agustus kemarin, rasanya aku.... sudahlah. Sudah berlalu.

Katanya, berjuang tidak sebercanda kamu main petak umpet dengan adikmu atau tarik ulur hubungan dengan gebetanmu. Ya, itu benar.  Padahal aku adalah orang yang sangat menghindari kehidupan penuh drama, tapi ternyata Tuhan punya cerita untuk yang berjuang. Tuhan merangkai cerita perjuanganku yang begitu pelik buat dapet wisuda tanggal 30 Agustus dengan begitu apik. Bahkan sejak jauh sebelum aku memikirkan hari wisuda. Kalimat “Tuhan tahu yang terbaik buatmu” itu benar adanya.

Ada yang menarik. Aku hanya memiliki waktu 4 hari untuk mengurus skripsi dan mendaftar wisuda. Hampir semua temanku bertanya “Kok bisa Tik?” Aku hanya menjawab sekedarnya “I was trying.” Tetapi hari ini aku mendapatkan pertanyaan menarik “Kok kamu bisa nyelesaiin skripsimu cepet banget? Trus habis ujian pedadaran kok bisa langsung wisuda? Gara-gara siapa?”

Aku tidak menjawab.
Hanya tersenyum.


Setiap orang pasti punya satu kata nama yang tidak pernah tersebut di permukaan. Itulah jawabannya.


























S.E. untuk Papa, Cumlaude untuk Mama.

Antykahfi.

Sunday, July 13, 2014

Smart People Worth Leadership.

Sunday, July 13, 2014
15:02
Part of my Essay.

Kira-kira setahun yang lalu, mahasiswa IP FE UII sempat diberi tugas untuk membuat essay dari hasil seminar LKIL. Sore ini secara tidak sengaja bertemu lagi dengan file essay tersebut. Well, here my so-so essay at that time.   

****
Akhir pekan lalu, saya dan teman-teman satu angkatan 2010 di IPFE mengikuti rangkaian akhir program pengembangan karakter yaitu Latihan Kepemimpinan Islam tingkat Lanjut atau disingkat LKIL. Program LKIL ini adalah salah satu dari rangkaian program Character Builiding yang dilaksanakan oleh Internasional Program UII kepada mahasiswanya. Program ini dilaksanakan sebagaimana mengacu pada visi dan misi IP UII untuk menciptakan seorang Global Leader  yang mampu menghadapi ragam bentuk perubahan dan persaingan global baik dalam hard skill  maupun soft skill. Saya rasa program ini memiliki tujuan mulia agar mahasiswa IP UII mendapatkan inspirasi dan motivasi dari narasumber sehingga nantinya inspirasi dan motivasi tersebut dapat diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan mahasiswa baik saat masih dalam tahap perkuliahan atau masa setelah memasuki dunia pekerjaan.
            Menilik program-progam Latihan Kepemimpinan Islam yang terdahulu, baik di tingkat dasar maupun menengah, saya pikir konsep LKIL ini sendiri tidak jauh berbeda. Penyelenggara dari tim character building IP masih menghadirkan narasumber dari alumni UII yang tidak hanya pernah memiliki pengalaman memimpin yang baik semasa kuliah mereka, namun juga sekarang di masa tua mereka juga sudah memetik hasil dari apa yang mereka usahakan selama masa mereka menjadi aktivis di kampus. Jika saya mengingat pada waktu LKIM lalu, IP mengundang Bapak Yodhia Antariksa sebagai pembicara. Beliau dulunya adalah Pemimpin Redaksi Majalah Ekonomika milik Fakultas Ekonomi UII, dan sekarang sudah sukses sebagai penulis dan enterpreneur. Bapak Yodhia menceritakan bagaimana pengalaman beliau dan bagaimana beliau memotivasi dirinya agar ke depannya ia bisa jauh lebih baik dari hari sekarang. Tidak jauh berbeda dengan pembicara-pembicara di LKIL kali ini, Bapak Hamid Basyadi dan Bapak Suparman Marzuki adalah sekian dari banyak orang yang sukses karena mampu dan mau memotivasi serta menggerakkan dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik lagi setiap harinya.
            Pembicara pertama pada hari itu adalah Bapak Hamid Basyaib yang sekarang menjabat sebagai staf ahli MPR RI. Semasa perkuliahan beliau dikenal sebahai pemimpin redaksi di majalah HIMMAH UII dan ketua LPM FH UII. Ketika awal dibacakan Curriculum Vitae dari Bapak Hamid, saya merasa kagum pada beliau. Walaupun sekarang pekerjaannya lebih banyak di dunia politik, namun beliau tidak meninggalkan akar beliau sebagai seorang jurnalis. Beliau menulis dan menerjemahkan cukup banyak buku, berkecimpung dalam beberapa bagian di stasiun tv swasta, serta memiliki nama yang cukup disegani di dunia keilmuan. Dari awal melihat cara beliau berjalan, menyapa kami semua, serta cara beliau berbicara di depan kami, yang ada di pikiran saya adalah “ah.. beliau pasti sudah melalui banyak hal dalam hidupnya. Beliau belajar sangat banyak.” Tutur katanya tegas namun berwibawa. Keras namun mengandung arti di dalam setiap perkataannya. Saya rasa tidak ada kata dalam ucapan beliau yang tidak mengandung wawasan di dalamnya. Sejujurnya saya sangat mengagumi orang-orang cerdas dan berwawasan. Saya tertarik dengan testimoni seseorang tentang beliau yang berkata; “He is a walking encyclopedia.” Dan saya seketika tertegun, “Wow, is he that smart?”
            Satu jam materi terasa cukup mengasyikkan. Pada awal materi beliau menyampaikan materi tentang pentingnya menjadi seseorang yang mature, brave, and solid. Saya melihat semua sifat itu ada pada beliau. Tapi saya rasa, hal yang melengkapi sifat-sifat tersebut adalah pengalaman. Pengalaman beliau lah yang mendewasakan dan memberi pelajaran hidup yang tidak akan pernah ditemukan di buku manapun. Maka dari itu tidak heran jika sekarang beliau menjadi seseorang yang tangguh dan solid. Saya suka gaya bicara beliau yang ceplas-ceplos namun mengandung arti. Bapak Hamid berasal dari Lampung, saya pun berasal dari Lampung. Ada kesamaan sifat diantara kami, tangguh dan berkata apa adanya. Jika tidak menyukai sesuatu, maka kami tidak perlu berpura-pura menyukai hal tersebut. Jika suka maka kami akan katakan yang sebenarnya. Tidak mencoba menutup-nutupi diri sendiri dan mencoba menjadi orang lain atau sering disebut pencitraan. Saya sangat jauh dari kata pencitraan. Saya terkenal cukup ceplas-ceplos dalam berbcara dan cukup tegas saat memimpin sesuatu. Tapi yang membedakan saya dengan Bapak Hamid adalah kecerdasan kami. Saya masih belum ada apa-apanya dibandingkan beliau.
Saya melihat Bapak Hamid sebagai sosok yang begitu “wah” di mata saya. Beliau begitu “tinggi”. Bahkan jika saya diminta untuk menyamai beliau mungkin hal itu hanya berakhir sebagai angan-angan saja. Jadi saya sampai pada kesimpulan bahwa beliau ini orang hebat, tapi bukan main role model buat saya. Saya jauh dari kata ilmuwan. Tapi walaupun saya tidak secerdas dan sepintar beliau, hingga sampai saat ini saya selalu membawa nilai islam dalam diri saya. Sebagaimana beliau juga memasukkan nilai-nilai islam dalam dirinya. Semoga seterusnya saya selalu dapat menjaga nilai-nilai islam ini pada diri saya, insha allah.
Pembicara selanjutnya adalah Bapak Suparman Marzuki yang sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial RI. Awal diumumkan nama beliau sebagai pembicara di LKIL kali ini saya lantas kaget; betapa hebatnya IP UII bisa mengundang beliau untuk hadir di acara kami. Saya juga sempat berdiskusi dengan beberapa teman yang penah mendapatkan seminar oleh beliau. Semua memberi referensi yang positif tentang beliau. Dan ketika saya menerima langsung materi tentang beliau, saya rasa semua orang yang memberikan testimoni positif tentang beliau itu benar adanya.
Berbeda dengan Bapak Hamid Basyaib, Bapak Suparman Marzuki lebih tenang serta pembawaannya lebih ke-bapak-an dan lebih berwibawa. Beliau juga berasal dari Lampung. Gaya bicara beliau sangat mirip dengan kakek saya, mungkin inilah salah satu ciri khas orang Lampung. Tidak jauh berbeda dengan Bapak Hamid, Pak Parman juga memiliki kehidupan yang sangat baik dan sangat efektif di masa perkuliahannya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk belajar dan menjadi aktivis. Namun ada sisi beliau yang membuat saya kagum. Di usia beliau yang sekarang, dimana hanya tinggal memetik buah dari apa yang diupayakan beliau, beliau masih memiliki mimpi sederhana yaitu berdiskusi ringan dengan mahasiswanya di rumah beliau. Sejenak saya merasa, mungkinkah saya ketika berada di usia beliau masih memiliki mimpi?
Secara keseluruhan pelatihan kepemimpinan islam kemarin sudah berjalan dengan baik. Walaupun beberapa mahasiswa banyak yang mengantuk saat di kelas tapi saya bersyukur saya masih mendapatkan “sesuatu” dari pelatihan ini. Saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang hebat yang berjuang untuk bangsa ini. Dan hebatnya adalah dua narasumber ini memegang jabatan cukup penting di negeri ini. Sudah semestinya saya merasa bersyukur untuk semua kesempatan ini.
Beberapa bulan ini saya lebih sering membaca buku dan artikel tentang kepemimpinan. Bukan hanya satu pemimpin saja, namun cukup banyak cerita dari banyak pemimpin. Dan akhir-akhir ini saya juga dihadapkan dengan hal yang berbau tidak hanya memimpin tapi juga dipimpin. Banyak harapan yang diberikan pada seorang pemimpin. Berharap akan menjadi lebih baik, lebih termotivasi, lebih solid dan lebih lebih lainnya. Dan setelah membaca, mendengar, melihat semua informasi yang saya dapat, saya berkesimpulan bahwa seorang pemimpin haruslah cerdas. Ya, cerdas dalam berpikir, cerdas dalam berakhlak, cerdas dalam berkata. Seorang pemimpin harus menggunakan akal dan pikirannya jauh lebih banyak dari orang yang dipimpin. Dan hal ini terus berkembang dalam pikiran saya bahwa pemimpin yang hebat adalah seseorang yang mau terus belajar. Tidak ada hal yang lebih baik untuk menyempurnakan teori selain pengalaman.
            Saya selalu menyukai orang-orang yang mau belajar. Orang-orang yang seperti itu biasanya cerdas dalam menjalani hidup dan menggunakan logika dalam menyikapi sebuah masalah. Menurut saya, seseorang yang berpikir, menggunakan akal lebih banyak daripada menggunalan hati dan perasaan, adalah seseorang yang bisa saya berikan respek lebih. Terlebih jika orang tersebut paham agama dan bertindak layaknya khalifah di muka bumi. Saya merasa cendekiawan muslim macam itu tidak perlu lagi diragukan integritas dan kredibilitasnya. Namun sayang sudah jarang cendekiawan yang amanah tampil untuk membenahi bangsa ini. Kebanyakan orang pintar menggunakan kecerdasan mereka hanya untuk kepentingan beberapa pihak. Mereka pintar, namun tidak dewasa dan amanah. Maka dari itu saya sering berpikir untuk tidak menjadi terlalu pintar jika pada akhirnya hanya menjadi milik saya sendiri.
            Disinilah saya sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya setiap bisa jadi pemimpin asal orang tersebut mau belajar, mau introspeksi diri, memotivasi dirinya untuk menjadi lebih baik. Bukan hanya untuk dirinya namun juga untuk orang lain yang berada di sekitarnya. Untuk orang-orang yang percaya padanya tetapi juga untuk orang-orang yang menaruh harapan padanya. Saya percaya jika ada nantinya orang yang mempercayai kita, bahkan menaruh harapan untuk kita, artinya kita sudah belajar banyak di hidup ini. Ada tantangan baru untuk kita. Itulah permainan dalam hidup, harus terus berjalan, ke level yang lebih sulit. Jadi, sudah sampai dimana level kita hari ini?

“Don’t push yourself to make such a huge innovation, just makes everything slightly better.” – Hamid Basyaib, S.H. (2013)


Not really good at making essay,
Antykahfi.

Saturday, April 26, 2014

Study Hard? Study Smart?

Saturday, April 26th, 2014
21:40 p.m.
write something.


Hey it's April 26th. Happy World Intellectual Property Day!
World Intellectual Property Day is observed annually on 26 April. The event was established by the World Intellectual Property Organization (WIPO) in 2000 to "raise awareness of how patents, copyright, trademarks and designs impact on daily life" and "to celebrate creativity, and the contribution made by creators and innovators to the development of societies across the globe" - Wikipedia

Hmm intermezzo sedikit skripsi saya pun tentang Intellectual Capital, tapi agaknya kurang seru ya kalo ngomongin tentang skripsi. Ya gimana, gitu-gitu aja. Sudahlah jangan dibahas.
Bicara tentang paten, hak cipta, kreatifitas sepertinya dekat hubungannya dengan apa yang kreator dan innovator lakukan selama ini; Belajar. Saya ingin beropini sedikit tentang kebiasaan belajar.

Kemarin saya sempat mengikuti acara Mata Najwa on Campus di GSP UGM yang pada saat itu menghadirkan pembicara-pembicara yang sangat menarik seperti: Sri Sultan Hamengkubuwono X, Mahfud MD, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Chairul Tanjung. saya tidak akan menceritakan seluruh hal dalam sesi diskusi atau bagaimana perjuangan saya untuk bisa masuk ke venue tapi lebih kepada beberapa point yang saya dapat dari kelima tokoh tersebut.

Kelima dari pembicara hari itu merupakan tokoh-tokoh intelek yang dimiliki bangsa ini. Konteks intelek disini bisa kalian artikan sebagai individu yang cerdas, memiliki banyak pengetahuan dalam bidangnya karena memang mereka menjadikan belajar itu sebagai habit bagi diri mereka sendiri. Sedikit mereka bercerita tentang masa lalu mereka saat masih menjadi mahasiswa. Mereka mencicipi berbagai titik di kota ini hanya sekedar untuk belajar dari pagi hingga sore. Mungkin jaman dahulu titik-titik itu disebut perpustakaan. Namun kini anak muda lebih sering menyebutnya kafe atau tempat nongkrong. Asal mereka menyediakan wifi gratis maka belajarlah mereka. Atau browsing.

Betapa aku seketika ingin juga mencicipi tempat-tempat yang disebutkan tadi untuk sekedar membaca koran atau mungkin mengerjakan skripsi. Seorang tokoh nasional bisa tercipta dari kota ini karena kegigihannya dan semangatnya dalam belajar, tidak lepas dari peran tempat-tempat yang nyaman untuk belajar di kota ini. Bersama orang-orang kesayangan tentunya. Ah, seandainya masih bisa kutemukan tempat yang seperti itu..

Buatku, perpustakaan kampus sudah cukup. Tapi ya hanya sekedar cukup. Saya sendiri bukan tipikal yang sering ke kafe untuk mengerjakan tugas atau berhubungan dengan akademik, because simply it's too contradict one another. Ya tapi ini subjektif, beda kepala beda opini. Kembali ke perpus kampus, tidak sedikit orang berkomentar "kenapa sih Ty nggak dikerjakan di rumah aja?" Sekarang aku tahu bahwa belajar tidak melulu soal paham atau tidak, bisa atau tidak, tapi bagaimana suasana belajarmu bisa membawamu untuk lebih semangat menambah wawasan, walau hanya sebentar, walau hanya sekedar membaca koran hari ini. 

Kemudian kelima tokoh tadi juga menjelaskan tujuan mereka belajar. FYI, kelima tokoh ini datang dari latar belakang pendidikan yang berbeda. Seorang adalah politikus dan budayawan, akademisi,  hakim, arsitek, dan pengusaha. Tujuan mereka untuk memiliki masa depan yang lebih baik pun berbeda-beda pula. Maka kemudian aku pun bertanya pada diri sendiri; Aku belajar untuk menjadi apa? Kepada siapa nanti ilmuku diberikan? 

Akhir-akhir ini saya lebih menikmati waktu dengan sedikit membaca artikel-artikel atau media yang menyajikan wawasan baru. Ya ilmu bisa datang darimana saja kan? Bahkan terkadang membaca artikel tentang pernikahan, isu-isu seputar gender bahkan politik yang dulu aku bener-bener awam sekarang aku coba baca satu persatu. Ketika semua temanku sibuk menjemput rezeki dengan mempersiapkan diri untuk rekruitmen, aku masih asik dengan berita-berita yang disajikan di media. Seorang awam ini menemukan hal-hal baru yang menyenangkan. Tetapi ya tetap saja masih awam, he he

Hakikatnya manusia di Bumi ya untuk menuntut ilmu. Tetapi bagaimana seseorang menginterpretasikan kata 'menuntut ilmu' itu sendiri terserah pada masing-masing individu. Bagaimana cara mereka dan apa tujuan mereka belajar, semua pasti punya alasan masing-masing. Yang jelas, belajar sesuatu hal, baik yang sudah menjadi passion atau mengeksplor sesuatu yang baru, tidak akan pernah menjadi suatu yang buruk. Jika ibadah adalah suatu investasi akhirat, belajar pasti adalah suatu  investasi dunia. Ya sudah semestinya begitu.

Bisa jadi lebih menyenangkan jika setiap individu yang mau belajar, tentang apapun, memiliki seorang partner yang sama-sama suka mencicipi nikmatnya belajar, tentang apapun.



Antykahfi 

Tuesday, March 18, 2014

(Bukan) Saksi Bisu.

Selasa, 18 Maret 2014
18.02
Kembali mencoba menulis fiksi


Hai, ini aku. Kamu mungkin sering melihatku, namun tak mengenalku.

Hari ini aku menjalani hari-hari seperti biasa. Diam, tanpa banyak bergerak, dan selalu merasa bosan. Semester ganjil telah berlalu. Itu artinya, akan semakin sedikit mahasiswa atau mahasiswi yang datang kemari. Semester ganjil adalah saatnya mahasiswa angkatan atas mengerjakan tugas akhir mereka; skripsi. Tapi karena semester ganjil sudah selesai maka musim mengerjakan skripsi pun sudah lewat. Sekarang hanya tersisa mahasiswa-mahasiswi  yang mungkin hanya mengerjakan tugas atau membaca koran. Datang sebentar, lalu pergi lagi. Aku rindu ketika perpustakaan ini ramai didatangi mahasiswa. Walaupun mereka sungguh ribut, tapi yang jelas lebih baik daripada hari ini; Sepi. Kosong.

Aku sering mengeluh kenapa aku diletakkan disini. Kenapa bukan di tempat yang lebih terbuka sehingga banyak orang yang datang padaku. Tempat ini kurang menarik untuk mahasiswa mengerjakan sesuatu. Aku sudah menyadari hal itu sejak dulu. Memang sih, ada beberapa yang sering duduk disini. Tapi tidak banyak. Seperti yang sudah aku jelaskan tadi, tempat ini terlalu tersembunyi, jauh dari meja besar bahkan jauh dari rak jurnal. Sekarang mungkin kalian paham kenapa aku selalu merasa bosan.

Tapi hari ini aku punya cerita menarik. Tetiba seorang mahasiswi datang terengah-engah kepadaku. Bawaannya cukup banyak. Laptop, buku, charger laptop, HP, dan setumpuk jurnal. Ini sih sudah pasti tipikal mahasiswa akhir. Tapi aku jarang melihat dia disini. Atau mungkin, dia telat mengambil skripsi? Entahlah yang jelas dia tampak kelelahan sekali. Semenit, dua menit mahasiswi ini mengatur nafas sembari bersandar padaku. Memang tempat ini begitu jauh jika harus berjalan kaki dari parkiran. Dan lagi, diluar udara cukup panas. Rasanya aku ingin mengubah diriku menjadi sofa dan mengarahkan AC padanya. Hari ini, baru dia yang mendatangiku. Rasanya bosanku bisa hilang.

Hapenya bergetar menandakan ada sms masuk. Belum sempat mahasiswi ini membuka pesan, datang seorang lelaki yang rasanya aku tidak asing. Pria itu duduk disebelahnya sambil meletakkan koran yang dia bawa. Semakin aku perhatikan, aku semakin tidak asing dengan pria ini. Siapa ya?

Ah! Aku ingat sekarang. Dia adalah mahasiswa yang tempo hari sering duduk disini hampir  4x seminggu. Ya dia yang sering duduk diatasku persis. Aku ingat sekarang. Tapi mungkin terakhir dia duduk disini, hmm, sudah cukup lama. Pasti skripsinya sudah selesai. Wah senang sekali aku bertemu lagi dengannya. Dan aku tak menyangka ternyata pria ini janjian untuk bertemu dengan mahasiswi ini disini. Di tempat yang membosankan ini.

Sepuluh menit berlalu, mereka mulai terlibat obrolan yang aku coba tangkap. Aku heran, Apa ini pertemuan awal mereka? Apa mereka tidak pernah bertemu sebelumnya? Kenapa mahasiswi ini menggerak-gerakkan kakinya dengan begitu cepat? Kenapa tiba-tiba aku merasa suhu disekitarku terasa semakin hangat? Ah.. rasanya aku paham sekarang.

Dua puluh menit berlalu dan aku menyadari sesuatu. Mereka berdua tidak benar-benar saling berhadapan atau bertatapan. Mengobrol tapi tidak saling memandang satu sama lain. Hei, dimana serunya?! Rasanya aku ingin berteriak, agar mereka saling berhadapan. Tapi sayang mereka tidak melakukan itu. Pria itu sibuk dengan koran yang dia bawa, mahasiswi ini sibuk dengan buku yang dia bawa. Rasanya aku gemas sekali. Tidak bisakah kalian mengobrol dengan lebih akrab? Aku menunggu seharian untuk melihat hal yang lebih baik dari ini! Hish!

Tiga puluh lima menit berlalu, dan akhirnya pria itu pergi. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan singkat kemudian pria itu keluar dari perpustakaan ini. Terdengar suara pintu perpustakaan menutup kemudian mahasiswi ini sejenak menyandarkan badannya padaku. Apa dia merasa tegang selama 35menit barusan? Tapi aku tidak merasakan adanya jantung yang berdebar darinya. Kenapa dia sebenarnya?

Tidak lama kemudian dia mulai membuka laptopnya dan membuka dokumen yang sering aku lihat; skripsi.  Dan aku mulai melakukan tugasku seperti biasanya: menjadi kursi perpustakaan yang nyaman untuk mahasiswa.

Saatnya dia pergi dari perpustakaan ini. Akhirnya satu-satunya mahasiswi yang menduduki ku hari ini pun berdiri dan membereskan mejanya. Sebelum dia pergi, dia merapikan aku dan menatapku dan kursi disebelahku sejenak. Dia tersenyum dan berkata padaku lirih “saksi bisu..”
Aku bahagia. Mungkin aku memang hanya sebuah kursi yang cukup berumur di tempat yang membosankan ini. Tapi aku senang menjadi bagian dari sebuah kisah. Panggilan mahasiswi tadi buatku tidak buruk juga. Namun ada hal yang dia mungkin tidak tahu..


Aku tidak sepenuhnya bisu.



Jangan lupa, ini fiksi.
Antiikus


Saturday, March 8, 2014

Late.

Sabtu, 08 Maret 2014
21:10


Terlambat atau telat?

Rasanya kata “terlambat” atau “telat” di negara ini udah bukan lagi sebuah perkara besar. Mungkin tidak semua orang di negara in pernah melakukan hal tersebut. Tapi yang pasti, semua orang di negara ini pasti pernah menghadapi orang yang terlambat, atau telat. Ibarat makan pizza, seharusnya kita makan menggunakan pisau dan garpu, tapi banyak juga langsung dimakan menggunakan tangan. Dimaklumi.

Tapi kali ini aku lebih suka menggunakan kata “terlambat” buat postingan kali ini. Karena menurutku kata “telat” itu teknikal. Contohnya; telat masuk kelas, telat balikin buku perpus, telat update atau malah telat datang bulan. Hii. 
Ngeri juga yang terakhir.

Aku juga sering kok terlambat. Entah tepatnya sejak kapan aku mulai menyadari bahwa aku sering menjadi orang yang terlambat. Terlambat mengetahui hal ini dan hal itu, terlambat menyadari hal ini dan itu. Terlambat untuk paham bahwa menjadi seseorang yang terlambat akan menanggung satu resiko yang pasti; tertinggal.

Terlambat ternyata berteman dekat dengan penyesalan.

Hari itu aku terlambat datang.
Aku tidak menemukan siapapun disana. Yang menunggu sudah pergi.
Hari itu matahari bersinar terik.
Mungkin aku memang terlambat dan bisa jadi yang menunggu sudah lupa akan hari itu.
Penyesalan memang datang, tapi aku bersyukur hari itu matahari tetap bersinar.
Semoga akan terus bersinar, untukku dan untukmu.


As usual,
Antykahfi.