Tuesday, March 18, 2014

(Bukan) Saksi Bisu.

Selasa, 18 Maret 2014
18.02
Kembali mencoba menulis fiksi


Hai, ini aku. Kamu mungkin sering melihatku, namun tak mengenalku.

Hari ini aku menjalani hari-hari seperti biasa. Diam, tanpa banyak bergerak, dan selalu merasa bosan. Semester ganjil telah berlalu. Itu artinya, akan semakin sedikit mahasiswa atau mahasiswi yang datang kemari. Semester ganjil adalah saatnya mahasiswa angkatan atas mengerjakan tugas akhir mereka; skripsi. Tapi karena semester ganjil sudah selesai maka musim mengerjakan skripsi pun sudah lewat. Sekarang hanya tersisa mahasiswa-mahasiswi  yang mungkin hanya mengerjakan tugas atau membaca koran. Datang sebentar, lalu pergi lagi. Aku rindu ketika perpustakaan ini ramai didatangi mahasiswa. Walaupun mereka sungguh ribut, tapi yang jelas lebih baik daripada hari ini; Sepi. Kosong.

Aku sering mengeluh kenapa aku diletakkan disini. Kenapa bukan di tempat yang lebih terbuka sehingga banyak orang yang datang padaku. Tempat ini kurang menarik untuk mahasiswa mengerjakan sesuatu. Aku sudah menyadari hal itu sejak dulu. Memang sih, ada beberapa yang sering duduk disini. Tapi tidak banyak. Seperti yang sudah aku jelaskan tadi, tempat ini terlalu tersembunyi, jauh dari meja besar bahkan jauh dari rak jurnal. Sekarang mungkin kalian paham kenapa aku selalu merasa bosan.

Tapi hari ini aku punya cerita menarik. Tetiba seorang mahasiswi datang terengah-engah kepadaku. Bawaannya cukup banyak. Laptop, buku, charger laptop, HP, dan setumpuk jurnal. Ini sih sudah pasti tipikal mahasiswa akhir. Tapi aku jarang melihat dia disini. Atau mungkin, dia telat mengambil skripsi? Entahlah yang jelas dia tampak kelelahan sekali. Semenit, dua menit mahasiswi ini mengatur nafas sembari bersandar padaku. Memang tempat ini begitu jauh jika harus berjalan kaki dari parkiran. Dan lagi, diluar udara cukup panas. Rasanya aku ingin mengubah diriku menjadi sofa dan mengarahkan AC padanya. Hari ini, baru dia yang mendatangiku. Rasanya bosanku bisa hilang.

Hapenya bergetar menandakan ada sms masuk. Belum sempat mahasiswi ini membuka pesan, datang seorang lelaki yang rasanya aku tidak asing. Pria itu duduk disebelahnya sambil meletakkan koran yang dia bawa. Semakin aku perhatikan, aku semakin tidak asing dengan pria ini. Siapa ya?

Ah! Aku ingat sekarang. Dia adalah mahasiswa yang tempo hari sering duduk disini hampir  4x seminggu. Ya dia yang sering duduk diatasku persis. Aku ingat sekarang. Tapi mungkin terakhir dia duduk disini, hmm, sudah cukup lama. Pasti skripsinya sudah selesai. Wah senang sekali aku bertemu lagi dengannya. Dan aku tak menyangka ternyata pria ini janjian untuk bertemu dengan mahasiswi ini disini. Di tempat yang membosankan ini.

Sepuluh menit berlalu, mereka mulai terlibat obrolan yang aku coba tangkap. Aku heran, Apa ini pertemuan awal mereka? Apa mereka tidak pernah bertemu sebelumnya? Kenapa mahasiswi ini menggerak-gerakkan kakinya dengan begitu cepat? Kenapa tiba-tiba aku merasa suhu disekitarku terasa semakin hangat? Ah.. rasanya aku paham sekarang.

Dua puluh menit berlalu dan aku menyadari sesuatu. Mereka berdua tidak benar-benar saling berhadapan atau bertatapan. Mengobrol tapi tidak saling memandang satu sama lain. Hei, dimana serunya?! Rasanya aku ingin berteriak, agar mereka saling berhadapan. Tapi sayang mereka tidak melakukan itu. Pria itu sibuk dengan koran yang dia bawa, mahasiswi ini sibuk dengan buku yang dia bawa. Rasanya aku gemas sekali. Tidak bisakah kalian mengobrol dengan lebih akrab? Aku menunggu seharian untuk melihat hal yang lebih baik dari ini! Hish!

Tiga puluh lima menit berlalu, dan akhirnya pria itu pergi. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan singkat kemudian pria itu keluar dari perpustakaan ini. Terdengar suara pintu perpustakaan menutup kemudian mahasiswi ini sejenak menyandarkan badannya padaku. Apa dia merasa tegang selama 35menit barusan? Tapi aku tidak merasakan adanya jantung yang berdebar darinya. Kenapa dia sebenarnya?

Tidak lama kemudian dia mulai membuka laptopnya dan membuka dokumen yang sering aku lihat; skripsi.  Dan aku mulai melakukan tugasku seperti biasanya: menjadi kursi perpustakaan yang nyaman untuk mahasiswa.

Saatnya dia pergi dari perpustakaan ini. Akhirnya satu-satunya mahasiswi yang menduduki ku hari ini pun berdiri dan membereskan mejanya. Sebelum dia pergi, dia merapikan aku dan menatapku dan kursi disebelahku sejenak. Dia tersenyum dan berkata padaku lirih “saksi bisu..”
Aku bahagia. Mungkin aku memang hanya sebuah kursi yang cukup berumur di tempat yang membosankan ini. Tapi aku senang menjadi bagian dari sebuah kisah. Panggilan mahasiswi tadi buatku tidak buruk juga. Namun ada hal yang dia mungkin tidak tahu..


Aku tidak sepenuhnya bisu.



Jangan lupa, ini fiksi.
Antiikus


Saturday, March 8, 2014

Late.

Sabtu, 08 Maret 2014
21:10


Terlambat atau telat?

Rasanya kata “terlambat” atau “telat” di negara ini udah bukan lagi sebuah perkara besar. Mungkin tidak semua orang di negara in pernah melakukan hal tersebut. Tapi yang pasti, semua orang di negara ini pasti pernah menghadapi orang yang terlambat, atau telat. Ibarat makan pizza, seharusnya kita makan menggunakan pisau dan garpu, tapi banyak juga langsung dimakan menggunakan tangan. Dimaklumi.

Tapi kali ini aku lebih suka menggunakan kata “terlambat” buat postingan kali ini. Karena menurutku kata “telat” itu teknikal. Contohnya; telat masuk kelas, telat balikin buku perpus, telat update atau malah telat datang bulan. Hii. 
Ngeri juga yang terakhir.

Aku juga sering kok terlambat. Entah tepatnya sejak kapan aku mulai menyadari bahwa aku sering menjadi orang yang terlambat. Terlambat mengetahui hal ini dan hal itu, terlambat menyadari hal ini dan itu. Terlambat untuk paham bahwa menjadi seseorang yang terlambat akan menanggung satu resiko yang pasti; tertinggal.

Terlambat ternyata berteman dekat dengan penyesalan.

Hari itu aku terlambat datang.
Aku tidak menemukan siapapun disana. Yang menunggu sudah pergi.
Hari itu matahari bersinar terik.
Mungkin aku memang terlambat dan bisa jadi yang menunggu sudah lupa akan hari itu.
Penyesalan memang datang, tapi aku bersyukur hari itu matahari tetap bersinar.
Semoga akan terus bersinar, untukku dan untukmu.


As usual,
Antykahfi.